-->

Jumat, 04 September 2009

Mahasiswa sebagai Pilar Kelima Demokrasi

Sudah berjalankah demokrasi di Indonesia? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan klasik sejak era reformasi sampai sekarang. Saya percaya, demokrasi di Indonesia masih terlalu muda untuk dapat disebut sebagai demokrasi yang baik. Sebab, hubungan antara demokrasi dengan variabel sosial lain seringkali tidak menunjukkan korelasi yang positif.
Secara teoritis, demokrasi dibangun oleh tiga pilar yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tiga pilar yang disebut oleh Montesquieu (1748) sebagai Trias Politica ini kemudian menjadi pedoman pelaksanaan demokrasi di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Tiga pilar ini kemudian dilembagakan secara legal-formal sebagai bagian dari alat penyelenggara negara.
Persoalannya, bagaimana nasib demokrasi ketika tiga pilar penyangga itu tidak menjalankan fungsinya dengan baik? Masih berjalankah demokrasi ketika eksekutif cenderung korup, legislatif hanya menjadi tukang stempel, dan yudikatif dibungkam dengan suap? Maka, tentu akan ada “pilar demokrasi” lain yang memonitor demokrasi secara independen dan objektif.
“Pilar yang lain” itu menjelma ke dalam karakter pers dan mahasiswa. Dua kekuatan ini harus terus dijaga untuk independen dan berpihak pada rakyat. Terlebih bagi mahasiswa dengan idealisme dan keikhlasan hatinya yang masih terjaga. Permasalahan yang kemudian muncul, siapkah mahasiswa menerima konsekuensi ini? Mari kita analisis.
Karakteristik Mahasiswa
Bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia? Penulis yakin, kita sudah sering mendengar berbagai ungkapan yang menganggap kaum muda sebagai pelaku perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Hasan Al-Banna, “Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Mahasiswa tentu saja merupakan bagian dari pemuda. Maka, sebuah beban untuk menuntaskan perubahan telah diletakkan di pundak para mahasiswa.
Mahasiswa dilahirkan untuk menjadi aktor perubahan. Sejarah pergerakan bangsa ini telah membuktikan kebenaran tesis tersebut. Hanya saja, peran mahasiswa sebagai aktor perubahan tersebut memerlukan prakondisi berupa idealisme dan karakter mahasiswa yang juga mendukung perubahan. Oleh karena itu, mahasiswa pada dasarnya memiliki dua fungsi utama yakni fungsi intelektual dan fungsi sosial.
Seorang mahasiswa sejatinya memiliki fungsi intelektual, yang berarti ada upaya untuk mengasah pemikiran kritis melalui proses dialektika di kampus. Fungsi ini juga mengimplikasikan mahasiswa untuk mampu menganalisis sebuah fenomena sosial melalui disiplin ilmu yang digeluti. Tentu saja indikator yang digunakan di sini adalah prestasi akademik dan ketajaman analisisnya atas problematika sosial yang melanda bangsa.
Di sisi lain, seorang mahasiswa idealnya juga memiliki fungsi sosial, yang mengharuskan mahasiswa untuk mengontribusikan pemikiran dan tenaganya kepada rakyat. Fungsi sosial mahasiswa ini dapat disalurkan melalui organisasi yang ada di kampus, gerakan mahasiswa ekstrauniversiter, atau lembaga-lembaga lain yang mewadahi mahasiswa. Dengan adanya kontribusi sosial mahasiswa, pemikiran kritis yang dilahirkan dari proses dialektika di kampus akan diuji dan kesadaran akan realitas yang timpang di masyarakat akan terbentuk.
Ketika dua fungsi ini dapat dioptimalkan oleh mahasiswa, peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan pilar kelima demokrasi akan mudah dilaksanakan. Maka, masalah yang kemudian harus kita tuntaskan selanjutnya adalah strategi gerakan yang akan dibawa oleh mahasiswa dalam setiap aksi, diskusi, atau propagandanya.
Merancang Strategi Gerakan
Persoalan lain, bagaimana sejatinya posisi gerakan mahasiswa dalam memainkan peran sebagai pilar kelima demokrasi? Pertanyaan ini cukup menarik untuk diulas karena berkaitan dengan strategi gerakan mahasiswa ketika dihadapkan kepada isu-isu publik.
Ada dua argumen yang muncul sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, mahasiswa adalah gerakan moral (moral force). Pergerakan mahasiswa dalam konteks ini tidak memainkan peran politik. Aspirasi mahasiswa dalam hal ini harus bersifat konstruktif bagi bangsa. Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa harus murni bernafas intelektual dan sarat pesan moral tanpa aksi politis. Gerakan mahasiswa, meminjam istilah Kang Jalal (1999), cukup menjadi bagian dari supporters dalam rekayasa sosial.
Kedua, mahasiswa sebagai gerakan politik (political force). Ketika menyikapi sebuah masalah sosial, mahasiswa harus melakukan aksi yang menimbulkan efek politik bagi pemutus kebijakan. Mahasiswa harus berjalan sesuai dengan suara rakyat, karena, meminjam istilah Haryo Setyoko (1999), suara rakyat adalah suara mahasiswa. Mahasiswa kemudian harus menjadi avant garde perubahan dan dengan demikian menjadi sebuah kekuatan penekan yang berhadapan dengan kekuatan politik lain.
Lantas, bagaimana mahasiswa merancang strategi gerakan secara bijaksana? Mengacu pada dua fungsi mahasiswa yang telah penulis uraikan, mahasiswa patut mempertimbangkan efektivitas gerakan dan implikasi-implikasi yang mungkin saja muncul. Strategi gerakan mahasiswa hendaknya tetap memperhatikan aspek intelektual dan aspek sosial. Untuk itu, aksi mahasiswa harus didahului oleh kajian dan analisis mendalam atas isu yang diangkat.
Strategi gerakan mahasiswa mungkin tidak akan sama dalam setiap aksi yang dilancarkan. Strategi akan mengacu pada momentum yang menyertai sebuah gerakan. Dalam konteks ini, gerakan mahasiswa tentu tidak hanya berkutat pada demonstrasi atau aksi massa saja. Jelas akan ada aksi-aksi lain yang bersifat advokasi, penyuluhan sosial, perdebatan, atau seminar-seminar yang menghasilkan rekomendasi untuk pemutus kebijakan.
Maka, penulis berpendapat bahwa fungsi mahasiswa merupakan kombinasi dua argumen di atas. Suatu ketika, mahasiswa dapat melakukan fungsinya sebagai moral force dalam menyikapi sebuah isu tanpa menutup kemungkinan untuk bertransformasi menjadi political force. Akan tetapi, ketika realitas sudah sedemikian timpang, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain memainkan peran politik dalam wacana gerakan yang diangkat.
Gerakan mahasiswa telah memikul beban berat untuk menjadi pilar kelima demokrasi. Beban berat tersebut harus menjadi pekerjaan rumah bagi para aktivis untuk dapat menunjukkan bahwa mahasiswa masih pantas untuk disebut sebagai pilar kelima demokrasi. Mari bekerja keras untuk mengemban amanah tersebut.
Maka, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain bergerak untuk menuntaskan perubahan. Bangkitlah Mahasiswa Indonesia!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN BERI KOMENTAR